Iklan

Menguak Praktik Pembelian Buku LKS di Sekolah, Siapa yang merekomendasikan pembelian buku LKS tersebut?

Penulis
5/24/24, 21:20 WIB Last Updated 2024-05-25T00:37:07Z

 

Ilustrasi Belajar bersama


MEDIAPOS, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Totok Suprayitno, menyatakan bahwa sekolah kini memiliki keleluasaan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membeli buku guna menambah koleksi perpustakaan sekolah. Kebijakan ini mulai dari pembatasan ketat pada 2011 hingga 2018, di mana pembelian buku teks hanya dibatasi lima hingga 16 persen dari dana BOS, hingga menjadi lebih fleksibel pada 2020 dan 2021 tanpa ketentuan alokasi maksimum untuk pembelian buku teks maupun buku bacaan.


Namun, di balik kebijakan yang terlihat mempermudah ini, masih terdapat keluhan dari para orang tua, terutama mereka yang kurang mampu, tentang praktik pembelian buku LKS (Lembar Kerja Siswa) di sekolah-sekolah. Mengapa siswa masih harus membeli buku LKS, padahal anggaran BOS telah mencakup kebutuhan buku teks dan bacaan?


Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 dari Badan Pusat Statistik menunjukkan rendahnya angka kunjungan ke perpustakaan, yaitu hanya 13,02 persen penduduk usia lima tahun ke atas. Dari jumlah tersebut, mayoritas bacaan yang dibaca adalah buku pelajaran (80,83 persen) dan kitab suci (73,65 persen). Hal ini menandakan rendahnya aktivitas literasi membaca di kalangan siswa, yang pada gilirannya berdampak pada skor literasi mereka di tingkat nasional.


Totok Suprayitno menekankan pentingnya membaca sebagai hiburan di waktu luang untuk meningkatkan skor PISA. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa siswa seringkali masih harus membeli buku LKS yang disediakan oleh sekolah melalui toko-toko yang telah ditunjuk. 


Pertanyaannya, siapa yang merekomendasikan pembelian buku LKS tersebut?


Disinyalir bahwa ada sistematisasi di balik praktik ini, melibatkan pembisnis buku dan mafia. Pembelian buku LKS yang sudah disediakan oleh sekolah melalui toko yang ditunjuk, memunculkan dugaan adanya komersialisasi yang terselubung. Pihak sekolah mungkin tidak dapat dijerat oleh pungli, tetapi pola seperti ini seolah telah menjadi lingkaran yang sulit diputus. Sekolah seringkali mengandalkan korlas (koordinator kelas) untuk menjadi juru tagih kepada siswa, membuat praktik ini seolah-olah menjadi bagian dari sistem yang sudah biasa diterapkan.


Di sisi lain, pihak Dinas Pendidikan pun kebingungan dengan praktik ini. Meski kebijakan BOS memberikan keleluasaan, tidak ada ketentuan yang mewajibkan pembelian buku LKS. Maka, mengapa praktik ini terus berlangsung? Apakah memang ada lingkaran bisnis di baliknya?


Untuk membongkar lingkaran ini, diperlukan keberanian dari dinas pendidikan, dan pemerintah untuk menelusuri dan mengawasi aliran dana BOS secara transparan. Selain itu, perlu juga adanya kesadaran dari para orang tua dan masyarakat untuk bersuara dan meminta pertanggungjawaban terhadap praktik yang merugikan ini. 


Pendidikan seharusnya menjadi hak semua anak, tanpa terkecuali, dan tidak boleh menjadi ajang komersialisasi yang membebani orang tua. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat terwujud dengan baik.


Penulis : Rakyat Jelata

Komentar

Tampilkan

  • Menguak Praktik Pembelian Buku LKS di Sekolah, Siapa yang merekomendasikan pembelian buku LKS tersebut?
  • 0

Terkini

Topik Populer